Dibukunya, Eka
kurniawan, “Rindu seperti dendam harus dibayar tuntas” Namun aku memilih
mengumpulkan rindu itu karena pemiliknya, seperti tidak ingin membayarnya.
Apalah dayaku dalam setiap pertemuan menginginkan hal lebih dan selalu lebih
darinya. Seutas senyumpun tak kudapati dalam pertemuan kami.
Apalah salahku yang
telah jatuh cinta padanya, seakan rasaku tidak mengalir dihatinya. Seakan
diriku tidak terlalu dipinta dalam setiap pertemuan kami.
Aku memendam rindu itu
dan menjadikan kekuatan untuk melupakannya. Menghilangkannya dari dalam
pikiranku. Namun terkadang aku ingin tahu sedikit saja kabar tentangnya.
Apakah salah bagi aku
yang sudah jatuh cinta padanya.
Tanpa kata aku terlalu
berani mengartikan setiap pandangannya yang jatuh dimataku. Terkadang aku
senang, seakan aku bisa membaca hatinya dan meramalkan pemikirannya. Namun
terkadang aku takut semua itu hanya dilusi yang aku inginkan.
Seperti malam itu,
sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Namun tetap saja setiap melihat sosok
dirinya aku menjadi seperti batu tak bergerak hanya diam memandangnya, dengan
begitu, tiba-tiba saja senyumku terukir.
Bodoh memang, namun begitulah
cinta selalu mempunyai hal bodoh untuk ditertawakan. Dan sayangnya dia terlalu
pintar, untuk meremukan hatiku dengan sekali tatapannya.
Malam itu tatapannya
sangat dalam, entah mengapa aku yang merasa bersalah atas pertemuan kami malam
itu. Padahal jelas-jelas aku yang merindukannya dan dia hanya menjadi sebagai
pemiliknya saja.
Hatiku bergetar
kembali, namun aku begitu takut memaknai keadaan dirinya saat itu. Hingga saat
ini aku tidak berani untuk menjawab segala pertanyaanku atas tatapannya yang tidak
lebih dari lima belas detik pertama.
#Tulisanlamadikertasbergaris
Tidak ada komentar:
Posting Komentar