Senin, 17 November 2014

Pilihan (Part II)



Pilihan adalah ketika memutuskan untuk melanjutkan mencintainya atau membuang jauh harapan bersamanya. Ya, yang kedua sudah dipilih saudaraku. Karena kedengarannya gebetannya sudah menikah dengan orang lain. Sedih ya, sewaktu kita mengetahui orang yang selama ini kita inginkan, telah menjadi milik orang lain, begitu yang sedang dialami saudaraku sekaligus sahabatku, saat ini.

Jumat itu,aku pergi ke sana, untuk sholat dan kedua orang yang selalu berada didepan. Tidak terlihat. Dan katanya lagi, gebetan saudaraku, seddang melangsungkan pernikahan. Mungkin pernikahannyalah yang memutuskan membuang jauh semua harapan-harapan dirinya bersamanya.  
*****

Memang, setiap keinginan kita belum tentu menjadi kebutuhan kita
Tetapi disaat keinginan itu semakin dalam, dan kebutuhan itu dengan mudah tercipta.
Ya, butuh akan senyumnya yang selama ini dilihatnya dengan tulus, ternyata sekarang bukan untuknya lagi. Sabar hanya bisa dilakukan dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan Maha Pengasih.
Tapi aku selalu percaya, “Allah Swt, tidak mungkin memisahkan kedua orang yang saling mencintai dengan tulus, kecuali untuk menggantikannya dengan yang lebih baik lagi”

Sewaktu aku menyukai seseorang beberapa tahun yang lalu, aku menyukainya karena dari sekian cowok di kantor itu, dia yang paling menjulang seperti menara, aku selalu bertemu dalam setiap waktu sholat.
Setiap waktu sholat datang, aku melihat dia terburu-buru menuju tangga darurat, dengan sajadah ditangannya. Dia mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat di tangga darurat. Sedangkan yang lainnya sedang bergegas menuju kantin untuk makan siang.

Sebenarnya, aku tidak berani tertarik dengannya namun setiap tingkahnya yang menarikku untuk lebih memperhatikannya. Aku tidak berani suka sama orang ganteng, terlebih dengan status pekerjaan yang berbeda.

Aku menyukai bukan tanpa alasan, aku suka dia taat ibadah dan mendahulukan Allah diatas dirinya. Aku menyukainya bukan hanya dia ganteng, tapi dia memang baik, sewaktu aku lagi mengepel di pantry dan dia mau ngambil minum, dia malah menunggu lantainya kering dulu. Waktu aku terkunci ditoilet karyawan (Yang mengharuskan punya akses Card) dan dia membantuku dengan  membukakannya.

Aku tidak melihat dia kaya, ganteng atau keren, aku mencintainya karena kebaikan tingkahnya, ibadahnya bahkan cara bicaranya dengan teman-temannya. Aku merasa aku tulus mencintainya tapi mengapa dia tidak bisa merasakan cintaku? Dan mengapa Tuhan tidak memberikan hatinya untuk merasakan “rasa” yang sama yang aku rasakan.

Ada sebersit rasa dihatiku, bahwa dia orang baik. Dan waktu itu aku percaya, suatu saat nanti, aku dan dia akan bertemu lagi dalam keadaan yang sama-sama baik. Maka dari itu aku rela menunggunya, walaupun ini sangat bodoh bagi sebagian teman-temanku.

Mungkin butuh waktu lama untuk menunggu, akupun tidak perduli. Hingga aku mengabaikan beberapa perasaan orang-orang baik, hingga perasaanku sendiri. Hingga aku dipertemukan kembali dengannya dengan statusnya yang sudah berbeda.

Waktu itu aku marah, mengapa Tuhan mengenalkan aku padanya? Aku kesal, bukankah Tuhan melihat aku selalu menjaga hatiku, cintaku, sikapku bahwa aku berusaha untuk tidak pernah pacaran lagi sampai aku dipertemukan lagi dengannya, walaupun ada beberapa cowok baik yang pernah menawarkan hatinya untukku (Aku tidak bersyukur untuk itu). Aku berusaha menolak dengan alasan aku sudah punya pacar. 

Walaupun selalu ketahuan aku bohong, karena setiap kondangan aku pergi bareng teman-teman, hehehhe
 Aku marah tapi aku sadar, bukankah dari awal aku mencintainya, aku tidak pernah ingin memilikinya, karena aku tahu, cinta itu tidak se-simple di dunia dongeng, aku dan dia berbeda. Begitu juga kata teman-
temanku.

Aku kesal dengan waktu yang lama mempertemukan kami kembali dalam keadaan yang sudah tak sama.  Atau aku yang kurang menyadarinya bahwa kita memang tidak akan pernah bisa bersatu. Harusnya di tahun pertama aku menyukai dan berpisah dengannya, aku sadar bahwa kita tidak akan terikat menjadi pasangan.
Aku menunggunya, aku menunggu kebaikan Tuhan dalam penantianku, namun kenyataannya, aku terlalu membuang waktu dan hanya menunggu waktu untuk melihatnya menikah dengan orang lain.

Menikah???? Apa aku bisa memaksanya untuk menyukaiku, apa aku mampu melihatnya terpaksa melakukan itu. ahhgg, aku tidak mampu untuk menjadi sejahat itu.

Bukankah menikah adalah jodoh yang sudah di tetapkan Oleh Allah Swt. Mengapa aku benci akan ketetapan-Nya? Akan jodohnya bukan aku? Waktu juga yang menyadarkanku untuk berpikir seperti ini.
Hingga aku berpikir bahwa ini balasan untukku. Aku terlalu sombong akan cinta yang aku miliki, mungkin aku kufur akan nikmat Allah Swt, yang telah mengirimkan orang-orang baik yang pernah hadir dalam hidupku. Aku justru pergi.
*****

Ada beberapa Makhluk “Mars” yang pernah hadir dalam hidupku.
Namanya  “Pejuang ”  dengan sekuat tenaga telah  memperjuangkan cintanya. Aku mengenalnya sewaktu aku dan teman-teman kepompong sedang makan mie ayam dibelakang Db. Si Pejuang ini duduk di bangku berdekatan dengan aku. Setelah aku membayar dan mau balik untuk pulang, dan secara tiba-tiba dia berkata.

“Yeee, gue kan lagi ngomong sama loe, dan loenya malah pergi aja?” Katanya dan aku kaget dan langsung menoleh kearahnya.
“Saya, Mas?” Tanya aku memastikan lagi
“Iya, loe, siapa lagi?” Ucapnya sambil nunjuk kearahku
“Maaf deh, Mas” Aku  Cuma bisa nyengir tanpa tahu apa maksud dari ucapannya itu.
“Memangnya, mas kenapa?” Tanyaku lagi berusaha menyimak apa yang mau diomongin
“Gue lagi patah hati?”
“Yaa, kalau patah hati jangan ngadu ke saya, Mas? kalau patah tulang, baru?” Aku berusaha mencairkan suasana karena kelihatannya dia yang sedang patah makin patah hati saat curahan hatinya enggak di dengar sama aku. Aduhh, maaf aja ya, Mas, kalau aku lagi makan mie ayam dan bakso, rasanya tuh seakan sulit berpaling ke yang lain, hehhe
“Loe bisa ngobatin patah tulang?” Tanyanya serius, Wah, sepertinya dia mulai menyadari bahwa aku itu multitalented, selain jago membersihkan, juga bisa ngurut patah tulang.
“Jangan ke saya juga, ke tukang urut aja mas, kalo patah tulang?” Jawabku dan dia mulai sedikit tertawa

Akhirnya setelah ngobrol-ngbrol dan cukup dekat, dia mulai cerita, bahwa dia lagi bingung karena pacarnya (Cewek yang sudah di sayangi selama 5 tahun) akan dijodohkan oleh kedua orang tuanya si cewek.

“Ayooo, dong, mas, semangat, jangan mudah nyerah?” Aku mulai menyemangatinya. Gue suka sama cowok yang berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkannya/diimpikannya. Apalagi berjuang untuk mendapatkan cintanya kembali.
“Udah, tapi...???” dia tidak melanjutkan kata-katanya lagi
“Tapi....???” tanyaku semakin penasaran
“Tetap aja di tolak” jawabnya. Katanya perbedaan tingkat sosial. (Oh my God, kisah siti Nurbaya, terulang lagi kepadanya)

Dan akhirnya, hampir setiap hari aku  selalu mendengarkan cerita-cerita tentang ceweknya, Aku sih, senang-senang aja, mendengarkan kisah cinta orang lain (Lumayan buat referensi membuat novel) Tapi yang menjadi bingung adalah rasa nyamannya ketika bercerita sama aku, entahlah mungkin aku berbakat jadi pendengar yang baik  kali ya, dan yang berurusan sama hati, hehhehe

Rasa nyaman itu berubah menjadi rasa ingin berbagi dalam setiap cerita yang dia rasakan.  Rasa yang mungkin dimilikinya, ketika bersamaku mendapat jawaban atas segala resahnya. Rasa yang entah sejak kapan, dia beranikan diri untuk membangunnya kembali, dan mungkin akan mendapat pengharapan baik dariku.

Tuhan, Maafkan aku yang kurang menyadari rasanya yang tulus. Aku tahu dihatinya masih terselip rasa pedih, aku mengerti hati dan jiwanya meronta atas kehilangan rasa yang selalu diterimanya yang selama ini secara tiba-tiba pergi dengan terpaksa, mungkin dalam pikirnya, aku mampu berperan untuk mengembalikan rasa cintanya untuk bisa (ber-re-generasi) menjadi lebih baik kembali.

Namun di saat hatinya yang sakit dan sudah berani memulai merasakan Cinta lagi dengan wujud yang selama ini bukan yang menemaninya dalam beberapa waktu terakhir, yang mungkin dia inginkan“seseorang” untuk memoles rasa sakitnya (Yang mungkin dia tidak berani bertaruh, rasa seperti apa yang akan dia dapatkan nantinya, bahagia atau sakit lagi)

Tapi Aku salut padanya karena dia berani mempertaruhkan hatinya yang sedang rapuh, agar  tidak ingin menghilangkan kebutuhan cinta untuk melengkapi hati dan jiwanya.
Disaat dia berani mempertaruhkannya lagi, aku menghilang.

Bukan tanpa alasan yang ringan, terlebih aku tidak ingin menyakitinya. Karena hatiku saat itu sudah terisi satu cinta yang memenuhinya. Mungkin Maafku tak bisa membayar hari esoknya.  Namun kepergianku akan menguatkan pencarian cintanya yang lebih besar lagi, bukan sekedar yang mampu mengerti hatinya tapi bisa sama-sama merasakan kebutuhan cinta untuk hati dan jiwanya.

Ya, aku melihatnya itu sekarang. Dia bahagia, dan rasa bersalahku seakan terbayar oleh kebahagiannya. Aku tahu dia orang yang tidak akan pernah menyakiti pasangannya, karena dia tahu jelas, bagaimana rasa sakit itu sesungguhnya?

Dia menjadi mars yang dewasa, bertanggung jawab dan sudah memiliki kebahagian dengan keluarga kecilnya. Aku selalu berdoa dan berharap bahwa rasa sakitnya sudah mulai menguatkannya, dan untuk menjadi peta kehidupannya bersama orang-orang yang cintainya yang berada di sisinya.
*****

Mars yang berwarna hijau...
Aku pernah menulisnya, di postingan sebelumnya. Ya, aku menamakannya hijau. Cowok pendiam yang mungkin pada awalnya dia sebal melihatku.

Aku dan dia sangat berbeda. Pendiam, dingin, cuek (Tidak pernah mau melihat orang) terlihat judes. Oh My God, aku saja yang cewek bisa dengan sangat mudah tersenyum pada orang lain. aku dan hijau sudah beberapa kali bertemu karena dia penjaga cafe yang ada dilingkungan kerjaku. Aku akrab dengan temannya, yang kebetulan sedari awal kerja disini, aku dikenalkan sama temannya hijau, namanya Rul.Rul adalah temannya Mbak Yan.

Mungkin hijau pikir, aku suka sama temannya karena kami akrab banget, ya, gimana enggak akrab, waktu pertama kali masuk kerja disini, temanku hanya mbak yan dan si Rul. Ceritanya, waktu itu, aku dan hijau bertemu di suatu pagi yang cerah (Cie...cie...ini ceritanya udah kayak di sinetron-sinetron)
Dia mengantar roti ke atas lt. 5 (Maklum cafenya ada dibawah kantor ini dan aku bertugas di lt.5) aku mau membersihkan bangku tamu di ruang tunggu, kebetulan dia sedang duduk di sana.

“Maaf mas, duduknya bisa pindah enggak, ke bangku satunya lagi, soalnya yang ini mau dibersihkan?” tanyaku dan dia menatapku tanpa bicara lalu pindah ke bangku sebelahnya
“Makasih, mas” Senyumku dan dia masih melihatku tanpa senyum
“Mas, boleh tanya, gak?” ucapku sambil membersihkan bangku
“Apa??” Jawabnya males karena lama nunggu orang yang mau mengambil roti antarannya
“Mas sakit ya?” Tanyaku dan dia menggeleng
“Enggak???” jawabnya sinis “Kalo sakit gue enggak kerja?” lebih sinis lagi
“Sakit gigi, gitu mas” tanyaku lagi masih dengan senyum
“Enggak” jawabnya setengah malas sambil memperhatikan orang-orang yang lewat di lorong kantor, barangkali ada orang yang mau mengambil pesanan rotinya. Dan setelah selesai membersihkan bangku yang tadi. Aku menyuruhnya pindah lagi.
“Mas, maaf lagi, duduknya pindah lagi ya, ke bangku ini (Bangku yang baru aku bersihkan)?” dan dia seakan marah dan dia menyangka aku mengerjainya.
“Jadi bangku ini, belum loe bersihin (Bangku yang sedang dia duduki)?” Tanya dia
“Belum mas” Jawabku sambil menggeleng
“Terus kalau dua-duanya belum loe bersihin, kenapa enggak yang disana dulu, yang pertama loe dibersihin?” Jawabnya setengah marah plus sebel “Kenapa harus bangku yang gue dudukin dulu?” Makin kesal sepertinya
“Biar cepat yang dekat dulu, mas” Ucap aku cari pembelaan  (Ciri orang yang enggak mau salah, hehhe)
“Tapi kan...??” akhirnya dia pindah duduk lagi
"Makasih ya mas” Senyumku dan dia lebih ingin membuang wajahnya
Karena menunggu orang yang mau mengambil pesanannya, akhirnya dia meneleponnya dari meja tempat resepsionis.

Setelah itu dia kembali duduk dan menunggu lagi. Mukanya ditarik menjadi cemberut, kesal memenuhi keseluruhan wajahnya.

“Mas...” Panggil aku
“Kenapa?” Jawabnya ketus
“Nunggu siapa,Mas?  nanti biar saya panggilin, saya mau masuk kedalam”
“Enggak usah, Ibunya sebentar lagi keluar” Jawabnya
“Ohh, yaudah” Jawabku dan dia hanya bengong memandang jendela keluar namun sebelum pergi melanjutkan pekerjaan kedalam ruangan, aku masih bertanya lagi (Aku seperti orang kepoo, udah dijutekin masih aja bertanya sama dia)
“Ohh saya tau mas ini lagi sariawan ya, makanya jarang ngomong dan enggak pernah senyum, ya?” Tanyaku lagi dan dia makin sebel
“Enggak, gue enggak sakit apapun” Jawabnya nyolot dan masih aja aku jawab dengan pertanyaan lagi (Kalau ingat lagi jadi lucu)
“Kalau enggak sakit? Koq enggak pernah senyum sih, mas?” Pertanyaanku kali ini membuatnya terperanjat. Siapa loe??? Memangnya masalah buat loh??? Maksud loh?? Mungkin pertanyaan2 ini muncul dalam hatinya saat mendengar pertanyaanku dan dia lagi-lagi enggak menjawab sampai datang orang yang mengambil roti pesanannya
“Wah, Mas, loe jangan gangguin si Evy dong?” Ucap Ibu Nang dengan setengah becanda padahal terkenal galak Loh tuh Ibu...

Dengan muka enggak rela dia menjawab “Idihhh siapa yang gangguin dia, ada juga dia yang gangguin saya, dari tadi, Bu..” Jawabnya makin sebel sambil melirik kearahku
“Enggak mungkinlah, masa si evy yang gangguin loe, mas...evy kan anak baik-baik” Ucap Ibu Nan dan aku hanya tertawa saja.dan dia masih enggak rela dengan tuduhan itu.

Hari berikutnya...
Masih dia yang mengantar roti ke lt. 5 dan selalu setiap aku membersihkan ruangan tunggu itu.
“Eh, masnya lagi?” Sapa aku “Silahkan mas, yang ini bangkunya sudah dibersihin” tunjukku biar dia enggak marah-marah lagi
“Gitu dong?” Jawabnya sambil duduk
“Koq, mas terus sih yang ngantar rotinya? Si Rul kemana tuh mas?” Tanyaku
“Kenapa loe nanyain si Rul? Kangen loe sama dia?” Jawabnya
“Jiahhh, orang Cuma tanya doang”

“Loe pacarnya si Rul ya?” Tanyanya kepo dan aku tertawa sambil membersihkan telepon yang ada di meja resepsionis. Jadi membersihkan telepon ada cairannya (serbuk putih) dan aku baru mengoleskannya dan membilasnya dengan air. Dan yang terkahir memberinya pewangi telepon. Namun gagang teleponnya dalam keadaan disamping telepon. Dan dia malah pakai telepon yang masih dalam proses pembersihan itu.

“Bukan mas” Jawabku dan dia berdiri di sampingku dan menelepon extension orang yang memesan roti.
Pikir aku dia sudah selesai pakai telepon. Karena gagang teleponnya masih dalam keadaan disamping telepon, dan pikir aku lagi dia sengaja taruh tuh gagang telepon karena tahu belum dikasih pewangi dan dia kembali mengecek roti yang dibawanya

Tanpa pikir panjang aku langsung menyemprotkan pewangi ke kain lap dan menggosokannya ke telepon. Dan setelah teleponnya aku bersihkan, aku kembalikan gagangnya ketempat semula.
Dan tiba-tiba dia balik ke meja resepsionist untuk menelepon dan dia teriak.....

“Koq dimatiin!!!!” Tanyanya ketika melihat gagang telepon sudah rapi ditempatnya
“Apanya mas?” Tanya aku bingung
“Itu teleponnya?!!” tunjuknya kesal
“Hah...” aku terperanjat kaget “Aduhh, maaf mas...Maaffya, mas? Memangnya masih dipakai?” Tanyaku yang panik karena dia juga  kaget pembicaraannya aku putus.
“Iya, tadi sengaja gue taro, gue lagi  roti gecek roti bawaan gue!” ucapnya marah
“Yahhhh, enggak tahu mas?????” Jawab aku merasa bersalah dan dia diam sambil melihatku.
“Maaf ya Mas...” Ucapku lagi dengan wajah penyesalan dan ketika dia ingin menelepon kembali, Orang yang tadi diteleponnya sudah datang untuk mengambil pesanannya.
“Gimana sih loe, main di matiin aja” Ucap mas-mas gaul yang sering nongkrong di Cafenya setiap sore
“Sorry deh, gangguan teknis tadi” Ucap si Hijau sambil ketawa. Lha dia bisa ketawa juga
“Yaudah deh, mana pesanan gue” Tanya si mas itu. dan dia melihat kearahku.
“Pantesan aja gangguan teknis,godaiin cewek melulu sih loe!” Ucap si Mas itu lagi. Tuduhan lagi kepadanya, hahhaha rasanya aku mau ketawa.
“Idiihhhh!” Ucapnya “Siapa? Gue? godaiin dia???? Ogah amat” Jawabnya sambil melihat ke arahku dan aku hanya senyum doang
“Lha, gue juga tahu, kita sama-sama cowok. Ngertilah gue” ucapnya mas-nya sambil ngedipin mata ke aku dan menepuk pundak hijau. Mau ketawa rasanya. Dan hijau manyun!

Sampai akhirnya, jam makan siang tiba. Jadi sebelum menuju ke kantin kita harus melewati cafe yang dia jaga. Dan si Rul manggil-manggil aku.

“Vy..? sini?” Panggil Rul dan aku melihat wajah hijau di kaca etalase tempat dia berjaga
“Ada apaan?” Tanyaku dan hijau yang membalasnya dengan pertanyaan
“Mau kemana?” jiahhh stres nih orang, namanya juga istirahat siang, ya, mau makanlah, masa mau berenang?
“Makanlah, mas”jawabku seadanya karena rintihan perut mulai menyerang. Lapar..laparrr
“Ohh..” Jawabnya dan si Rul  malah balik bertanya kepadaku
“Ada yang mau kenalan nih sama loe, katanya nama loe siapa?” Ucap Rul dan hijau hanya nunduk saja
“Siapa??” Tanyaku keheranan
“Nih di sebelah gue?” Hah, mulutku terbuka lebar kayak bang ocit datang, (dia) ngapain tuh orang mau kenalan, Aku melihatnya dan dia sengaja mengalihkan  perhatiannya ke mesin hitung di Cafenya
 "Kalau mau kenalan, suruh orangnya sendiri yang ngomong?” Ucapku sambil pergi kekantin dan buru-buru melampiaskan nafsu cacing-cacing di perut untuk mendapatkan haknya

Dan setelah makan siang selesai, aku harus lewat lagi dong depan Cafenya dan dia sudah berdiri dipintu luar Cafenya. Sepertinya dia agak gugup dan aku pura-pura jalan aja

“Cewek...”Panggilnya dan aku berhenti lalu nengok (Seperti adegan Cinta nengok kearah Rangga, ditempat jualan buku-buku bekas di senen)
“Namanya siapa...???” Jreenggggg....aku tertawa dan dia tersenyum. Akhirnya setelah kerja berminggu-minggu di sini...dia mulai sadar kali ya, gue tuh manis juga, heheheh   
“Evy,,, Gak pake Tamala...” Jawabku tanpa salaman dan langsung pergi kelantai atas.
****

Setelah itu, dia mulai melakukan Pedekate, ya, Modus, Tapi lagi-lagi aku mengecewakannya. Dia cowok baik. Yang kami berakhir dengan perpisahan yang tidak ada pertengkaran namun aku menjadi musuhnya.
Aku kadang sebel melihat sikapnya yang lebih percaya pada orang lain ketimbang aku. Kalau dia menyadarinya aku tidak seperti yang dituduhkannya baru sikapnya berubah baik lagi. Tapi memang dia tipe orang yang cemburuan. Kita bahkan tidak pernah pulang bareng kalau kerja. Tapi seakan kita terikat dalam satu hubungan ikatan pacaran.

Ya, karena teman-teman kami selalu menjodohkan. Selama dia baik dan tidak macem-macem aku jalani saja untuk mengenalnya lebih jauh lagi. Namun seiring berjalannya waktu, ternyata kami tidak cocok. Dia suka memeriksa hp dan menghapus sms, lihat nomor kontak. Ampuun deh...

Bahkan aku berusaha melupakan perasaanku pada Kuning yang sudah tidak bisa kulihat lagi bayangannya dengan berusaha membuka hati untuknya. Aku bercerita tentang diriku. Aku punya sahabat dua cowok, agar dia tidak cemburu karena kedua sahabatku itu manggil aku “Say” bukan sayang tapi thosay. Kebetulan kambing saat itu bekerja di Fx Plaza sebagai trainer fitnes. Jadi kami suka pulang bareng.

Agar dia tidak menuduhku macem-macem, aku bercerita dulu aku sedikit tomboi dan punya panggilan bathosay, tapi dia malah tertawa dan seakan tidak percaya. Yasudahlah....

Dalam hubungan pacaran itu harus menghargai pasangan kita. Namun terkadang aku bisa lebih dekat dengan sahabatku ketimbang pacar sendiri. Bagiku sama saja sahabat atau pacar yang membedakannya hanyalah, dia lebih punya waktu untuk mendengarkan segala keluh kesah kita, segala mimpi kita, semua yang menjadi keinginan kita, teman diskusi dalam suatu hal dengan sudut pandang berbeda namun tetap bisa menghargai dengan pikiran masing-masing.

Teman yang lebih memperhatikan kita untuk hal-hal baik, seperti mengingatkan sholat, memberi nasehat ketika kita sedang salah, tidak marah karena kita melakukan kesalahan lebih kepada mengajarkan kepada mengambil hikmah didalamnya.

Teman yang tidak pernah mengeluhkan kita dengan segala perubahan bentuk fisik kita, pakai baju yang biasa saja tanpa harus mengaturnya, bahkan tidak membahas tentang wajibnya bilang ketika potong rambut, apalagi bila terlalu gendut atau kurus. (Tetap memberi nasehat tapi tidak menjadikan itu aturan yang harus ditaati)
Teman yang selalu ada saat kita jatuh bukan malah meninggalkan bahkan mendorong kita lebih jatuh lagi. Teman yang saling melibatkan kebaikan untuk masing-masing.

Namun kita tidak bisa seperti itu. Hijau selalu penuh curiga. Bahkan menuduh yang macam-macam. Bahkan hijau selalu menggunakan kekerasaan bila ada cowok yang dekat, padahal cowok-cowok itu adalah sahabat aku. Akupun tahu batasan antara cewek dan cowok dalam pergaulan. Namun tetap aja Hijau tidak bisa menghargai persahabatan antara aku dan teman-teman.

Dan sekarang aku dengar dirinya sudah menikah dan katanya ceweknya seperti aku, mata panda, hehheeh. Ya, Cuma dengar dari teman-teman lama sih. Yang penting dirinya sudah bahagia. Aku turut senang walaupun dia tidak bersamaku, namun dia pernah menjadi  Bagian dari ceritaku.....

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

  BENCI Siapa kau? Beraninya membenci manusia yang sama hinanya dengan dirimu Siapa kau yang masih menginjak tanah merasa sedang menjunj...